DETAIL REKOD
Kembali ke sebelumnya
Kembali ke sebelumnya
Judul | KESANTUNAN BERBAHASA PENDIDIK SEKOLAH/MADRASAH MUHAMMADIYAH KABUPATEN PURWOREJO |
Edisi | |
No. Panggil | |
ISBN/ISSN | |
Pengarang | Umi Faizah, M. Pd Drs. Mohammad Fakhrudin Dra. Kadaryati |
Subyek/Subjek | Kesantunan Berbahasa Pendidik, Sekolah/Madrasah Mu |
Klasifikasi | |
Judul Seri | GMD | Text |
Bahasa | Indonesia |
Penerbit | Program Studi Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Muhammadiyah Purworejo |
Tahun Terbit | 2012 |
Tempat Terbit | Purworejo |
Kolasi | |
Catatan | |
Detil Spesifik | Abstrak: Penelitian tentang kesantunan berbahasa (Indonesia) masih sangat langka. Penelitian dan/atau artikel tentang kesantunan berbahasa tersebut kebanyakan menggunakan data yang diperoleh dari subjek yang dibedakan dari sudut pandangan usia. Oleh karena itu, penelitian tentang masalah kesantunan berbahasa Indonesia dengan subjek berdasarkan profesi, apalagi pendidik, perlu pula mendapat perhatian. Pendidik, setelah orang tua, adalah teladan bagi peserta didik. Dalam penelitian ini masalah yang secara khusus diteliti adalah sebagai berikut. (1) Bagaimanakah persepsi para pendidik sekolah/madrasah Muhammadiyah Kabupaten Purworejo tentang kesantunan berbahasa Indonesia? (2) Bagaimanakah pendidik sekolah/madrasah Muhammadiyah Kabupaten Purworejo merealisasikan kesantunan berbahasa dalam melakukan tindak tutur (a) mengajak, (b) minta tolong (kepada sesama pendidik, (c) memohon (kepada kepala sekolah/madrasah/pimpinan), (d) menyuruh (penjaga sekolah/petugas kebersihan), (e) meminta izin (kepada kepala sekolah/madrasah/pimpinan), dan (f) menolak pada sesama pendidik dan pada kepala sekolah/madrasah/ pimpinan? Tujuan penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan persepsi pendidik sekolah/madrasah Muhammadiyah Kabupaten Purworejo tentang kesantunan berbahasa Indonesia, (2) mendeskripsikan realisasi kesantunan berbahasa pendidik sekolah/madrasah Muhammadiyah Kabupaten Purworejo dalam melakukan tindak tutur (a) mengajak, (b) minta tolong (kepada sesama pendidik, (3) memohon (kepada kepala sekolah/madrasah/pimpinan), (d) menyuruh (penjaga sekolah/petugas kebersihan), (e) meminta izin (kepada kepala sekolah/madrasah/pimpinan), dan (f) menolak: (i) pada sesama pendidik dan (ii) pada kepala sekolah/madrasah/pimpinan. Teori yang dijadikan acuan dalam penelitian ini adalah kesantunan berbahasa sebagaimana dijelaskan dalam al-Quran (1) surat al-Isra: 23; (2) QS al-Isra’: 28; (3) al-Ahzab: 70; (4) Thoha: 33-34; (5); ‘Ali Imran: 159; dan al-Hadis (1) al-Bukhari dan Muslim dan (2) Ahmad. Di samping itu, kesantunan berbahasa menurut Lakoff, yang terdiri atas tiga kaidah yang harus ditaati agar tuturan memenuhi kesantunan, yakni (1) keformalan, (2) ketaktegasan, dan (3) kesederajatan atau kesekawanan (Gunarwan, 1994: 87-88). Teori yang juga dijadikan acuan dalam penelitian ini adalah tiga skala yang perlu dipertimbangkan dalam hubungannya dengan kesantunan sebagaimana dikemukakan oleh Leech (1983: 123), yaitu (1) skala biaya-keuntungan, (2) keopsionalan, dan (3) skala ketaklangsungan sebagaimana pendapat Leech (1983:123) dijadikan acuan pula. Skala (1) menjelaskan tuturan yang sama-sama bermodus imperatif, tetapi yang satu santun, sedangkan yang lain kurang santun. Skala (2) pada dasarnya sama dengan kaidah (2) yang dikemukakan Lakoff yang telah dikutip di muka. Skala (3) mengukur seberapa panjang jarak yang ditempuh oleh daya ilokusioner untuk mencapai tujuan ilokusioner. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan deskriptif. Pendekatan kualitatif digunakan karena data yang diteliti berupa bentuk-bentuk bahasa, yakni tindak tutur. Di samping itu, analisis data di dalam penelitian ini tidak menggunakan perhitungan secara statistik. Sementara itu, pendekatan deskriptif digunakan untuk mengungkap realitas secara apa adanya dan bersifat sinkronis. Jumlah populasi sebanyak 428 orang pendidik sekolah/madrasah Muhammadiyah Kabupaten Purworejo. Mereka terdiri atas pendidik di tingkat pendidikan dasar dan pendidik di tingkat pendidikan menengah. Sampel pada penelitian ini diambil secara random sampling. Di Kabupaten Purworejo terdapat 16 amal usaha pendidikan, yang terdiri atas 10 sekolah/madrasah tingkat pendidikan dasar dan 6 sekolah tingkat pendidikan menengah. Sampel pada penelitian ini sebanyak 32 orang pendidik. Tiap sekolah/madrasah diambil secara acak dua orang pendidik sebagai responden. Dalam penelitian ini data disediakan dengan teknik (1) kuesioner, (2) tes, dan (3) wawancara. Kuesioner digunakan untuk memperoleh data tentang persepsi pendidik tentang kesantunan berbahasa. Tes yang digunakan berupa pengisian tuturan berdasarkan konteks yang dideskripsikan peneliti. Wawancara digunakan untuk melakukan klarifikasi tentang persepsi pendidik tentang kesantunan berbahasa dan realisasinya. Analisis data dilakukan dengan cara menafsirkan secara pragmatis sebagaimana yang dijelaskan Widdowson (1981: 65) Leech (1983: 131), Levinson, (1991: 290), Rustono (1998: 106) dan sebagaimana dikemukakan oleh Ibrahim ([ed] 2009: 98-104). Penafsiran tuturan dilakukan dengan memperhatikan faktor sosial kemasyarakatan seperti yang dijelaskan oleh Gumperz (1971), Hymes (1974: 53-66), Halliday dan Hasan (1980: ), Wells et al. (1981 dalam Cole dan Morgan [eds.] 1981: 7383), Halliday (1984: 62), Holmes (1992: 12), Wardhaugh (1993: 274-278), dan Wijana (1997 dan 1999) karena penggunaan tuturan di dalam percakapan berhubungan dengan dimensi sosial penutur, yakni pendidik, kepala sekolah/madrasah, dan penjaga sekolah. Pemaparan hasil analisis data menggunakan metode informal sebagaiamana dijelaskan Sudaryanto (1993: 145). Berdasarkan data sebagaimana disajikan pada Tabel: 1, diketahui bahwa umumnya para pendidik sangat setuju terhadap pernyataan (1), (2), (3), (4), (5), (6), (7), (8), (9), dan (11). Sikap ini berarti bahwa mereka mempunyai persepsi yang benar tentang kesantunan berbahasa Indonesia. Dalam hal wajib menindak pendidik yang melanggar kesantunan berbahasa dengan cara yang santun, sikap pendidik terbagi menjadi dua, yaitu 50% sangat setuju dan 50% setuju. Dengan demikian, mereka setuju jika pendidik yang tidak menerapkan kesantunan berbahasa, perlu ditindak dengan cara yang santun. Persepsi pendidik bahwa Kesantunan berbahasa sesuai dengan tuntunan Islam dan Kesantunan berbahasa merupakan salah satu aspek akhlaqul karimah tidak dapat dilepaskan dari pemahaman pendidik tentang firman Allah Swt. yang berkaitan dengan akhlak berbicara sebagaimana terdapat surat al-Isra: 28; al-Ahzab: 70; al-Isra: 23; Thona: 43-44; ‘Ali Imran: 159. Di samping, meraka pun mengamalkan sunnah Nabi Muhamamad saw. dalam hal bertutur sebagaimana dijelaskan dalam al-Hadis yang telah dikutip pada Bab II.B tentang tanda orang yang beriman pada Allah dan hari kiyamat dalam hal berbicara. Pendidik yang tidak setuju terhadap penerapan kesantunan berbahasa dengan mencampuradukkan bahasa Indonesia dengan bahasa daerah 21,87%. Jika dihubungkan dengan latar belakang penggunaan bahasa Indonesia bagi para pendidik, jumlah pendidik yang bersikap demikian dapat dipahami karena bagi mereka bahasa Indonesia bukanlah bahasa pertama. Bahasa pertama mereka adalah bahasa daerah sehingga wajar jika bahasa daerah baginya terasa lebih “mendarah daging”. Kenyataan itu sesuai dengan teori yang dijadikan acuan, yakni teori yang dipaparkan oleh Gumperz (1971), Hymes (1974), Halliday dan Hasan (1980), Wells et al. (1981 dalam Cole dan Morgan [eds.] 1981:7383), Halliday (1984), Holmes (1992), Wardhaugh (1993), dan Wijana (1997 dan 1999) sebagaimana dipaparkan pada Bab II. tentang hubungan penggunaan kode dengan faktor sosial budaya Hasil wawancara yang dilakukan oleh Tim dengan para pendidik dan kepala sekolah/madrasah, menguatkan isian kuesioner itu. Dari wawancara itu dapat diketahui bahwa para pendidik mempunyai komitmen yang tinggi dalam penerapan kesantunan berbahasa meskipun perwujudannya tidak dapat lepas dari pengaruh bahasa daerah (Jawa). Bagi mereka kesantunan berbahasa perlu diterapkan tidak hanya di sekolah/madrasah, tetapi juga di masyarakat sebab kesantunan berbahasa merupakan bagian dari akhlaqul karimah, yang sesuai dengan ajaran Islam. Kesantunan berbahasa perlu diterapkan tidak hanya pada situasi resmi, tetapi juga pada situasi tidak resmi. Berdasarkan data yang diperoleh dan hasil pembahasan, disimpulkan sebagai berikut. (1) Para pendidik sekolah/madrasah Muhammadiyah Kabupaten Purworejo mempunyai persepsi yang benar tentang kesantunan berbahasa Indonesia. Umumnya para pendidik berpendapat bahwa kesantunan berbahasa Indonesia perlu diterapkan tidak hanya pada situasi resmi dan tanpa dicampur dengan bahasa daerah, tidak hanya di sekolah/madrasah, tetapi juga di masyarakat sebab kesantunan berbahasa merupakan bagian dari akhlaqul karimah, yang sesuai dengan ajaran Islam. (2) Para pendidik di sekolah/madrasah Muhammadiyah Kabupaten Purworejo umumnya berusaha memenuhi prinsip kesantunan dalam hal melakukan tindak tutur (a) mengajak, (b) minta tolong, (c) memohon (kepada pimpinan), (d) menyuruh (kepada penjaga sekolah/petugas kebersihan), (e) minta izin (kepada pimpinan), dan (f) menolak pada sesama pendidik dan menolak pada pimpinan. Realisasi tindak tutur mereka bervariasi. Variasi itu dapat dikelompokkan, antara lain, berdasarkan parameter (1) Langsung-Tidak Langsung/Tidak Tegas, (2) Opsi-Tanpa Opsi, (3) Biaya-Keuntungan, (4) dan Formal-Tidak Formal. Variasi itu terjadi karena faktor sosial partisipan yang bervariasi. Kata kunci: Kesantunan Berbahasa Pendidik, Sekolah/Madrasah Muhammadiyah, Kabupaten Purworejo |
Gambar Sampul | |
Lampiran | LOADING LIST... |
Ketersediaan | LOADING LIST... |
Kembali ke sebelumnya |